Pengikut

Kamis, 14 Maret 2013

KOTA KLATEN

Kabupaten Klaten (Bahasa Jawa: Hanacaraka: ꦏ꧀ꦭ​ꦛꦺꦤ꧀, Latin: Klathèn) adalah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Pusat pemerintahan berada di Kota Klaten. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di utara, Kabupaten Sukoharjo di timur, serta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di selatan dan barat. Kompleks Candi Prambanan, salah satu kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia, berada di Kabupaten Klaten

Geografi

Secara geografis Kabupaten Klaten terletak di antara 110°30'-110°45' Bujur Timur dan 7°30'-7°45' Lintang Selatan.
Luas wilayah kabupaten Klaten mencapai 665,56 km2. Di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Sukoharjo. Di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Gunungkidul (Daerah Istimewa Yogyakarta). Di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan di sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Boyolali.
Menurut topografi kabupaten Klaten terletak di antara gunung Merapi dan pegunungan Seribu dengan ketinggian antara 75-160 meter diatas permukaan laut yang terbagi menjadi wilayah lereng Gunung Merapi di bagian utara areal miring, wilayah datar dan wilayah berbukit di bagian selatan.
Ditinjau dari ketinggiannya, wilayah Kabupaten Klaten terdiri dari dataran dan pegunungan, dan berada dalam ketinggian yang bervariasi, yaitu 9,72% terletak di ketinggian 0-100 meter dari permukaan air laut. 77,52% terletak di ketinggian 100-500 meter dari permukaan air laut dan 12,76% terletak di ketinggian 500-1000 meter dari permukaan air laut.
Keadaan iklim Kabupaten Klaten termasuk iklim tropis dengan musim hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun, temperatur udara rata-rata 28°-30° Celsius dengan kecepatan angin rata-rata sekitar 153 mm setiap bulannya dengan curah hujan tertinggi bulan Januari (350mm) dan curah hujan terrendah bulan Juli (8mm)
Sebagian besar wilayah kabupaten ini adalah dataran rendah dan tanah bergelombang. Bagian barat laut merupakan pegunungan, bagian dari sistem Gunung Merapi. Ibukota kabupaten ini berada di jalur utama Solo-Yogyakarta.

Pembagian Administrasi

Kabupaten Klaten terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas 53 desa dan 103 kelurahan. Ibukota kabupaten ini berada di Kota Klaten, yang terdiri atas tiga kecamatan yaitu Klaten Utara, Klaten Tengah, dan Klaten Selatan. Kota Klaten dulunya merupakan Kota Administratif, namun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dikenal adanya kota administratif, dan Kota Administratif Klaten kembali menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Klaten. Kecamatan di Klaten :
  1. Bayat
  2. Cawas
  3. Ceper
  4. Delanggu
  5. Gantiwarno
  6. Jatinom
  7. Jogonalan
  8. Juwiring
  9. Kalikotes
  10. Karanganom
  11. Karangdowo
  12. Karangnongko
  13. Kebonarum
  14. Kemalang
  15. Klaten Utara
  16. Klaten Tengah
  17. Klaten Selatan
  18. Manisrenggo
  19. Ngawen
  20. Pedan
  21. Polanharjo
  22. Prambanan
  23. Trucuk
  24. Tulung
  25. Wedi
  26. Wonosari

Wacana Pemekaran Kota Klaten

Mengingat Kota Klaten adalah sebuah bentukan kota baru sebagai kota administratif pada tahun 1986 dengan ciri yang menunjukkan wilayah perkotaan, maka muncul wacana untuk membentuk Kota Klaten sebagai suatu pemerintahan kota sendiri. Bentukan kota administratif yang lain sebagian besar telah menjadi daerah otonom mandiri, sedang sebagian kecil yang belum kini bergiat untuk menyusul menjadi sebuah kota otonom, termasuk Kota Klaten.
Adapun jika wacana pemekaran wilayah kota dan kabupaten direalisasikan, maka wilayah Klaten akan menjadi dua.
  • Kota Klaten akan membentuk daerah otonom mandiri dengan 3 kecamatan:
  1. Klaten Utara,
  2. Klaten Tengah,
  3. Klaten Selatan.
  • Ibukota kabupaten dipindah ke Delanggu dengan wilayah kabupaten sebagaimana wilayah Kabupaten Klaten saat ini dikurangi wilayah Kota Klaten.
Masing-masing wilayah dapat mengembangkan wilayahnya, mengingat di kedua wilayah tersebut memiliki pemasukan pendapatan masing-masing yang selama ini digabungkan menjadi APBD Kabupaten Klaten. Pendapatan daerah Kota Klaten terletak pada aktivitas perdagangan serta pajak-pajak pasar, kios pertokoan, dan perusahaan yang cukup untuk anggaran sebuah pemerintahan kota. Sementara pendapatan Kabupaten Klaten banyak dari sektor pertanian, perdagangan, dan pariwisata, yang berarti dapat menyokong anggaran wilayah kabupaten.
Dengan diharapkannya realisasi wacana pemekaran ini, dapat mempercepat laju pembangunan di wilayah kota dan kabupaten dengan jumlah penduduk yang banyak dan padat, serta dapat lebih menyejahterakan masyarakat di kedua belah wilayah tersebut.

Sejarah

Asal mula nama

Ada dua versi yang menyebut tentang asal muasal nama Klaten. Versi pertama mengatakan bahwa Klaten berasal dari kata kelati atau buah bibir. Kata kelati ini kemudian mengalami disimilasi menjadi Klaten. Klaten sejak dulu merupakan daerah yang terkenal karena kesuburannya.
Versi kedua menyebutkan Klaten berasal dari kota Melati. Kata Melati kemudian berubah menjadi Mlati. Berubah lagi jadi kata Klati, sehingga memudahkan ucapan kata Klati berubah menjadi kata Klaten. Versi ke dua ini atas dasar kata-kata orangtua sebagaimana dikutip dalam buku Klaten dari Masa ke Masa yang diterbitkan Bagian Ortakala Setda Kab. Dati II Klaten Tahun 1992/1993.
Melati adalah nama seorang kyai yang pada kurang lebih 560 tahun yang lalu datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara. Kyai Melati Sekolekan, nama lengkap dari Kyai Melati, menetap di tempat itu. Semakin lama semakin banyak orang yang tinggal di sekitarnya, dan daerah itulah yang menjadi Klaten yang sekarang.
Dukuh tempat tinggal Kyai Melati oleh masyarakat setempat lantas diberi nama Sekolekan. Nama Sekolekan adalah bagian darinama Kyai Melati Sekolekan. Sekolekan kemudian berkembang menjadi Sekalekan, sehingga sampai sekarang nama dukuh itu adalah Sekalekan. Di Dukuh Sekalekan itu pula Kyai Melati dimakamkan.
Kyai Melati dikenal sebagai orang berbudi luhur dan lagi sakti. Karena kesaktiannya itu perkampungan itu aman dari gangguan perampok. Setelah meninggal dunia, Kyai Melati dikuburkan di dekat tempat tinggalnya.
Sampai sekarang sejarah kota Klaten masih menjadi silang pendapat. Belum ada penelitian yang dapat menyebutkan kapan persisnya kota Klaten berdiri. Selama ini kegiatan peringatan tentang Klaten diambil dari hari jadi pemerintah Kab Klaten, yang dimulai dari awal terbentuknya pemerintahan daerah otonom tahun 1950.

Hari jadi

Daerah Kabupaten Klaten semula adalah bekas daerah swapraja Surakarta. Kasunanan Surakarta terdiri dari beberapa daerah yang merupakan suatu kabupaten. Setiap kabupaten terdiri atas beberapa distrik. Susunan penguasa kabupaten terdiri dari Bupati, Kliwon, Mantri Jaksa, Mantri Kabupaten, Mantri Pembantu, Mantri Distrik, Penghulu, Carik Kabupaten angka 1 dan 2, Lurah Langsik, dan Langsir.
Susunan penguasa Distrik terdiri dari Pamong Distrik (1 orang), Mantri Distrik (5), Carik Kepanawon angka 1 dan 2 (2 orang), Carik Kemanten (5 orang), Kajineman (15 orang).
Pada zaman penjajahan Belanda, tahun 1749, terjadi perubahan susunan penguasa di Kabupaten dan di Distrik. Untuk Jawa dan Madura, semua propinsi dibagi atas kabupaten-kabupaten, kabupaten terbagi atas distrik-distrik, dan setiap distrik dikepalai oleh seorang wedono.
Pada tahun 1847 bentuk Kabupaten diubah menjadi Kabupaten Pulisi. Maksud dan tujuan pembentukan Kabupaten Pulisi adalah di samping Kabupaten itu menjalankan fungsi pemerintahan, ditugaskan pula agar dapat menjaga ketertiban dan keamanan dengan ditentukan batas-batas kekuasa wilayahnya.
Berdasarkan Nawala Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senopati Ing Alaga Abdul Rahman Sayidin Panata Gama VII, Senin Legi 23 Jumadilakhir Tahun Dal 1775 atau 5 Juni 1847 dalam bab 13 disebutkan :
“……………………………….” KratonDalam Surakarta Adiningrat Nganakake Kabupaten cacah enem.
“………………………………” Kabupaten cacah enem iku Nagara Surakarta, Kartosuro, Klaten, Boyolali, Ampel, lan Sragen.
“………………………………” Para Tumenggung kewajiban rumeksa amrih tata tentreme bawahe dhewe-dhewe serta padha kebawah marang Raden Adipati.

Perubahan luas daerah

Luas daerah Kabupaten Klaten mengalami beberapa kali perubahan. Klaten pada mulanya adalah tanpa kecamatan Jatinom dan Polanharjo. Kedua kecamatan semula merupakan wilayah kabupaten Boyolali, dan baru digabungkan tanggal 11 Oktober 1895.

Kelurahan

Rumah orang Belanda di Klaten (tahun 1904)
Semenjak terbentuknya onderdistrik, daerah onderdistrik terdiri dari beberapa dukuh. Sebagian dukuh-dukuh itu merupakan daerah kekuasaan seorang Demang. Gaji seorang Demang berupa tanah pituas.
Luas tanah pituas antara Demang yang satu dan yang lainnya berbeda-beda, sesuai dengan besar kecilnya jasa yang diberikan kepada Kasunanan. Penerima terkecil dinamakan Bekel, kemudian Demang, Ronggo, dan terbesar disebut Ngabei.
Pada tahun 1914 dibentuk kelurahan, yang merupakan penggabungan dari beberapa dukuh. Tanah pituas yang semula untuk gaji Bekel, Demang, Ronggo, dan Ngabei, diberikan pada kelurahan sebagai milik desa yang kemudian menjadi lungguh pamong desa. Struktur organisasi Kelurahan terdiri dari Lurah, Kamituwa, Carik, Kebayan, Modin, dan Ulu-ulu.
Tahun 1957 dilakukan pemblengketan atau penggabungan beberapa kelurahan, atas ketentuan kasunanan bahwa setiap Kelurahan paling sedikit harus berpenduduk 1300 orang. Peristiwa itu dikenal sebagai masa kompleks.

Sebelumnya, di Klaten telah dilakukan penggabungan karena alasan lain. Masa kompleks di Klaten telah terjadi sejak tahun 1917. di beberapa onderdistrik, penggabungan Kelurahan dilakukan karena beberapa Kelurahan tidak mempunyai tanah untuk kas desa maupun untuk lungguh pada pegawainya. (Sumber: Selintas Hasil Pembangunan Kabupaten Klaten, h. 11-15)

Pariwisata

Stasiun kereta api Klaten (tahun 1903-1910)
Di Jatinom, upacara tradisional Sebaran Apem Yaqowiyu diadakan setiap bulan Sapar. Di Palar, Trucuk, Klaten bersemayam pujangga dari Kraton Solo bernama Ronggo Warsito. Keindahan alam dapat dinikmati di daerah Deles, sebuah tempat sejuk di lereng Gunung Merapi. Rowo Jombor tempat favorit untuk melihat waduk. Terdapat juga Museum Gula, di Gondang Winangun yang terletak sepanjang jalan Klaten - Yogyakarta.
Di Kecamatan Tulung sebelah timur terdapat serangkaian tempat bermunculannya mata air pegunungan yang mengalir sepanjang tahun, dan dijadikan obyek wisata. Wisata yang bisa dinikmati di sana adalah wisata memancing dan pemandian air segar. Banyak tempat pemandian yang bisa dikunjungi baik yang berbayar maupun tidak berbayar, seperti Umbul Nilo (gratis), Umbul Penganten (gratis), Umbul Ponggok (berbayar), Umbul Cokro (berbayar) dan umbul lainnya. Namun kalau untuk wisata memancing semua harus berbayar karena dikelola oleh usaha warga. Letak pemancingan yang terkenal adalah di desa Janti. Sambil memancing pengunjung dapat juga menikmati masakan ikan nila, lele, atau mas goreng berbumbu sambel khas dengan harga sangat terjangkau. Tiap hari libur perkampungan ini sering mengalami kemacetan karena membludaknya pengunjung dari kota Solo, Semarang dan Yogya.
Di Kecamatan Bayat, Klaten, tepatnya di kelurahan Paseban, Bayat, Klaten terdapat Makam Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat yang memiliki desain arsitektur gerbang gapura Majapahit. Makam ini menjadi salah satu tempat wisata ziarah Para Wali. Pengunjung dapat memarkir kendaraan di areal parkir serta halaman Kelurahan yang cukup luas. Setelah mendaki sekitar 200 anak tangga, akan ditemui pelataran dan Masjid. Pemandangan dari pelataran akan nampak sangat indah di pagi hari.
  1. Ayam Bakar Klaten
  2. Sate Kambing
  1. Payung Kertas - Juwiring
  • Wisata Alam Dan Tempat
  1. Rowo Jombor
  2. Deles
  3. Menara Air Klaten

Pendidikan

Di kabupaten Klaten memiliki beberapa lembaga pendidikan tinggi seperti :
  1. Universitas Widya Dharma Klaten
  2. STIKES Muhammadiyah Klaten
  3. Akademi Akuntansi Muhammadiyah Klaten
  4. Poltekes Negeri Surakarta Jurusan Kebidanan
  5. STIA Madani Klaten
  6. Pusat Kegiatan Belajar Masyrakat(PKBM)Dewi Fortuna
  7. Stikes Duta Gama Klaten
  8. Politektik Manufakturing (Polman) Ceper
  9. Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah ( STAIM ) Klaten, dulunya IAIM
  10. Sekolah Tinggi Hindu Dharma ( STHD )
Pedidikan Menengah Atas:
Klaten juga mempunyai sekolah SMA
  1. SMAN 1 Klaten
  2. SMAN 1 Karanganom Klaten
  3. SMAN 1 Cawas
  4. SMAN 1 Karangdowo
  5. SMAN 1 Bayat
  6. SMAN 2 Klaten
  7. SMAN 3 Klaten
  8. SMA Muhammadiyah 1 Klaten Jl. Sersan Sadikin No. 89, Klaten Utara, Klaten
  9. SMAN 1 Jogonalan Klaten
Pendidikan Menengah Pertama
  1. SMPN 2 Bayat, Ngerangan, Bayat, Klaten
  2. SMPN 1 Karangdowo
  3. SMPN 1 Delanggu
  4. SMPN 1 Klaten (SMP tertua di Klaten, Lokasi Bareng)
  5. SMP Negeri 2 Klaten adalah SMP unggulan di kabupaten Klaten.
  6. SMPN 3 Klaten
  7. SMPN 4 Klaten
  8. SMPN 5 Klaten (Lokasi Jomboran)
  9. SMPN 6 Klaten
  10. SMPN Negeri 1 Ngawen (SMP Ketandan sebelum tahun 1996 dan berubah menjadi SLTPN 1 Ngawen)
  11. SMPN 1 Pedan
Pendidikan Dasar
  1. SDN 2 Jambakan, Bayat, Klaten
  2. SDN 1 Tulas, SD tertua di Klaten.
  3. SDN 1 Klaten
  4. SDN 2 Klaten
  5. SDN 1 Jonggrangan
  6. SDN 4 Klaten
  7. SDN 2 Jetiswetan, Pedan
  8. SDN 1 Gempol,Karanganom
Pendidikan Taman Kanak Kanak/ PAUD
  1. PAUD ISBAC (International Islamic Boarding School), Jeblogan, Ceper, Klaten
  2. TK Aisyiyah Bustanul Alfal di Botokan, Jonggrangan, Klaten Utara
  3. TK IT Mutiara Hati
  4. TK AISYIYAH GERGUNUNG I di Gergunung, Gergunung, Klaten utara, Klaten
  5. Kelompok Bermain AISYIYAH GERGUNUNG di Gergunung, Gergunung, Klaten utara, Klaten
seiring dengan perkembangan dan perhatian masyarakat dibidang pendidikan, telah berkembang sekolah swasta seperti :
  1. SDIT Bias (Tonggalan, Klaten Selatan)
  2. SDIT Hidayah
  3. SMPIT Hidayah
  4. SMPIT Ibnu Abbas

SEJARAH KOTA KENDAL

Umum

Nama Kendal diambil dari nama sebuah pohon yakni Pohon Kendal. Pohon yang berdaun rimbun itu sudah dikenal sejak masa Kerajaan Demak pada tahun 1500 - 1546 M yaitu pada masa Pemerintahan Sultan Trenggono. Pada awal pemerintahannya tahun 1521 M, Sultan Trenggono pernah memerintah Sunan Katong untuk memesan Pusaka kepada Pakuwojo.
Peristiwa yang menimbulkan pertentangan dan mengakibatkan kematian itu tercatat dalam Prasasti. Bahkan hingga sekarang makam kedua tokoh dalam sejarah Kendal yang berada di Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu itu masih dikeramatkan masyarakat secara luas. Menurut kisah, Sunan Katong pernah terpana memandang keindahan dan kerindangan pohon Kendal yang tumbuh di lingkungan sekitar. Sambil menikmati pemandangan pohon Kendal yang nampak "sari" itu, Beliau menyebut bahwa di daerah tersebut kelak bakal disebut "Kendalsari". Pohon besar yang oleh warga masyarakat disebut-sebut berada di pinggir Jln Pemuda Kendal itu juga dikenal dengan nama Kendal Growong karena batangnya berlubang atau growong.
Dari kisah tersebut diketahui bahwa nama Kendal dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah atau daerah setelah Sunan Katong menyebutnya. Kisah penyebutan nama itu didukung oleh berita-berita perjalanan Orang-orang Portugis yang oleh Tom Peres dikatakan bahwa pada abad ke 15 di Pantai Utara Jawa terdapat Pelabuhan terkenal yaitu Semarang, Tegal dan Kendal. Bahkan oleh Dr. H.J. Graaf dikatakan bahwa pada abad 15 dan 16 sejarah Pesisir Tanah Jawa itu memiliki yang arti sangat penting.

Sejarah Berdirinya Kabupaten Kendal

Adalah seorang pemuda bernama Joko Bahu putra dari Ki Ageng Cempaluk yang bertempat tinggal di Daerah Kesesi Kabupaten Pekalongan. Joko Bahu dikenal sebagai seorang yang mencintai sesama dan pekerja keras hingga Joko Bahu pun berhasil memajukan daerahnya. Atas keberhasilan itulah akhirnya Sultan Agung Hanyokrokusumo mengangkatnya menjadi Bupati Kendal bergelar Tumenggung Bahurekso. Selain itu Tumenggung Bahurekso juga diangkat sebagai Panglima Perang Mataram pada tanggal 26 Agustus 1628 untuk memimpin puluhan ribu prajurit menyerbu VOC di Batavia. Pada pertempuran tanggal 21 Oktober 1628 di Batavia Tumenggung Bahurekso beserta ke dua putranya gugur sebagai Kusuma Bangsa. Dari perjalanan Sang Tumenggung Bahurekso memimpin penyerangan VOC di Batavia pada tanggal 26 Agustus 1628 itulah kemudian dijadikan patokan sejarah lahirnya Kabupaten Kendal.
Perkembangan lebih lanjut dengan momentum gugurnya Tumenggung Bahurekso sebagi penentuan Hari jadi dinilai beberapa kalangan kurang tepat. Karena momentum tersebut merupakan sejarah kelam bagi seorang tokoh yang bernama Bahurekso. Sehingga bila tanggal tersebut diambil sebagai momentum hari jadi dikhawatirkan akan membawa efek psikologis. Munculnya istilah "gagal dan gugur" dalam mitologi Jawa dikawatirkan akan membentuk bias-bias kejiwaan yang berpengaruh pada perilaku pola rasa, cipta dan karsa warga Kabupaten Kendal, sehingga dirasa kurang tepat jika dijadikan sebagai pertanda awal mula munculnya Kabupaten Kendal.
Dari Hasil Seminar yang diadakan tanggal 15 Agustus 2006, dengan mengundang para pakar dan pelaku sejarah, seperti Prof. Dr. Djuliati Suroyo ( guru besar Fakultas sastra Undip Semarang ), Dr. Wasino, M.Hum ( dosen Pasca Sarjana Unnes ) H. Moenadi ( Tokoh Masyarakat Kendal dengan moderator Dr. Singgih Tri Sulistiyono. serta setelah diadakan penelitian dan pengkajian secara komprehensip menyepakati dan menyimpulkan bahwa momentum pengangkatan Bahurekso sebagai Bupati Kendal, dijadikan titik tolak diterapkannya hari jadi. Pengangkatan bertepatan pada 12 Rabiul Awal 1014 H atau 28 Juli 1605. Tangal tersebut persis hari Kamis Legi malam jumat pahing tahun 1527 Caka. Penentuan Hari Jadi ini selanjutnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah ( PERDA ) Kabupaten Kendal Nomor 20 Tahun 2006, tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Kendal ( Lembaran Daerah no 20 Tahun 2006 Seri E nomor 15 )

Pemerintahan Kabupaten Kendal sekarang dan zaman dulu

Kaliwungu pernah berjaya sebagai pusat pemerintahan sejak awal berdirinya Kabupaten Kendal. Namun karena kondisi perpolitikan di pusat Mataram pada waktu itu dan adanya pertimbangan untuk perkembangan pemerintahan, menyebabkan pusat pemerintahan tersebut pindah ke kota Kendal hingga sekarang. Sehingga akhirnya Kaliwungu hanya digunakan untuk tempat tinggal kerabat Ayah Bupati yang sering disebut sebagai Kasepuhan. Sedangkan pemerintahannya dijadikan sebagai daerah administrasi yaitu Distrik Kaliwungu.

Bupati Kendal

  • Pangeran Ario Prawirodiningrat II Putra Bupati Pangeran Ario Prawirodiningrat I (Bupati terakhir Kendal dengan Pusat Pemerintahan masih di Kaliwungu) 1813 -1830
  • Raden Tumenggung Purbodiningrat Menantu Bupati P. Ario Prawirodingrat II 1832 -1850.
  • Kyai Tumenggung Purbodiningrat Asal Gresik. 1832 -1850.
  • Pangeran Ario Notohamiprojo 1857 -1891.
  • Raden Mas kamal Notonegoro asal desa Cepiring 1891-1911
  • Patih Raden Cokro Hadisastro Menantu Bupati Jepara Sosrodiningrat / Ipar R.A. Kartini (menjalankan pemerintahan sementara karena Bupati meninggal dunia) 1911-1914.
  • Raden Mas Adipati Ario Notohamijoyo atau Raden Mohammad Putra RM. Ario Notonegoro 1914 -1938
  • Raden Patih Notomudigdo memegang jabatan sementara karena Bupati Raden Mas Adipati Ario Notohamijoyo memasuki masa pensiun. 1938.
  • Raden Mas saddin Purbonegoro asal desa Cepiring 1939 -1942
  • Patih Raden Mas Kusuma Hudoyo 1942 -1945
  • Sukarmo Putra Lurah Ketapang Kendal. (Anggota Sanggiin diangkat dalam masa Revolusi Rakyat Kendal. 1945 -1949
  • R. Ruslan Masa Agresi Belanda 1949
  • R. Prayitno Partodijoyo Patih dari Pekalongan 1950 -1956
  • R. Soedjono Bupati Blora 1957-1960
  • Staf Kantor Gubernur - R. Abdul Rahman - R. Gondo Pranoto
  • R. Salatun Wedono Weleri Kendal 1960 -1966
  • Mayor Sunardi 1966 -1967
  • Letkol RM. Suryo Suseno 1967 - 1972
  • Drs. Abdus Saleh Ronowidjoyo Asal Madura 1972 - 1979
  • Drs. Herman Sumarmo Sekwilda Ka. Tegal 1979 - 1984
  • Sudono Yusuf, BA 1984 -1989
  • Sumojo Hadiwinoto, SH 1989 - 1998
  • Drs. Djoemadi 1999
  • Hendy Boedoro , SH. M.Si 2000 - 2007
  • Dra. Hj. Siti Nurmarkesi ( Bupati ), Pelantikan 22 Juli 2009-2010
  • Dr. Hj. Widya Kandi Susanti 2010-2015

Geografi

Kondisi geografis

Kabupaten Kendal terletak pada 109°40' - 110°18' Bujur Timur dan 6°32' - 7°24' Lintang Selatan. Batas wilayah administrasi Kabupaten Kendal meliputi :
  • Utara : Laut Jawa.
  • Timur : Kota Semarang.
  • Selatan : Kabupaten Semarang dan Kabupaten Temanggung.
  • Barat : Kabupaten Batang.
Jarak terjauh wilayah Kabupaten Kendal dari Barat ke Timur adalah sejauh 40 Km, sedangkan dari Utara ke Selatan adalah sejauh 36 Km.
Kabupaten Kendal mempunyai luas wilayah sebesar 1.002,23 Km2 yang terbagi menjadi 20 Kecamatan dengan 265 Desa serta 20 Kelurahan.

Kondisi topografi

Secara umum, wilayah Kabupaten Kendal terbagi menjadi 2 (dua) daerah dataran, yaitu daerah dataran rendah (pantai) dan daerah dataran tinggi (pegunungan). Wilayah Kabupaten Kendal bagian utara merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0 - 10 meter dpl, yang meliputi Kecamatan :
  1. Weleri.
  2. Rowosari.
  3. Kangkung.
  4. Cepiring.
  5. Gemuh.
  6. Ringinarum.
  7. Pegandon.
  8. Ngampel.
  9. Patebon.
  10. Kendal, Kendal.
  11. Brangsong.
  12. Kaliwungu, Kendal.
Wilayah Kabupaten Kendal bagian selatan merupakan daerah dataran tinggi yang terdiri atas tanah pegunungan dengan ketinggian antara 10 - 2.579 meter dpl, meliputi Kecamatan :
  1. Plantungan.
  2. Pageruyung.
  3. Sukorejo.
  4. Patean.
  5. Boja.
  6. Limbangan.
  7. Singorojo.
  8. Kaliwungu Selatan.

Kondisi iklim dan curah hujan

Mengingat wilayah Kabupaten Kendal yang terbagi menjadi 2 (dua) daerah dataran, maka kondisi tersebut memengaruhi kondisi iklim wilayah Kabupaten Kendal. Wilayah Kabupaten Kendal bagian utara yang didominasi oleh daerah dataran rendah dan berdekatan dengan Laut Jawa, maka kondisi iklim di daerah tersebut cenderung lebih panas dengan suhu rata-rata 27 °C. Sedangkan wilayah Kabupaten Kendal bagian selatan yang merupakan daerah pegunungan dan dataran tinggi, kondisi iklim di daerah tersebut cenderung lebih sejuk dengan suhu rata-rata 25 °C.

Pembagian administratif

Kabupaten Kendal terdiri atas 20 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 265 desa dan 20 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Kendal.
Di samping Kendal, kota-kota kecamatan lainnya yang cukup signifikan adalah Kaliwungu dan Weleri.
Kaliwungu (Basis Keagamaan)
Kota ini tak pernah sepi dari kehidupan keislaman. Banyak pesantren dengan santri dari berbagai kota dari berbagai wilayah negeri. Kota ini selalu khas dengan berlalulalangnya orang-orang yang berpakaian muslim, dengan sarung dan penutup kepala (peci atau kerudung) dengan Al Quran dan atau kitab-kitab tertentu ditangan. Selain itu alunan ayat-ayat suci Al Quran senantiasa menggema sepanjang hari di hampir setiap sudut kotanya.
Weleri (Basis Perdagangan)
Kota paling barat Kabupaten ini memang tak pernah sepi dari perdagangan. Kota ini menjadi transit dan tujuan dari para pedagang dari seluruh penjuru Kabupaten bahkan Wilayah Indonesia. Dengan fasilitas transportasi (adanya 2 terminal dan 1 Stasiun KA)dan fasilitas komunikasi yang lebih lengkap dari pada kecamatan lainnya, Weleri berkembang menjadi sebuah kota yang ramai dan mudah untuk diakses. Selain itu, secara sosial, dengan adanya para pedagang dari Klaten-Solo yang membentuk suatu perkampungan khusus (Kampung Solo),perkampungan tersebut terletak di dukuh Kedonsari Kelurahan Penyangkringan.Dari pengaruh perubahan sosial inilah menjadikan weleri sebagai kecamatan yang perkembangan perdagangan semakin pesat dengan ditandai banyaknya pasar tradisonal, sampai saat ini terdapat 3 pasar besar yang terletak dijantung kecamatan weleri

Transportasi

Kendal berada di jalur pantura yang sangat ramai. Angkutan umum antarkota pada umumnya dilayani oleh bus. Kendal juga dilintasi jalur kereta api, ada tiga stasiun (Weleri, Kalibodri dan Kaliwungu) dengan stasiun terbesarnya Weleri. Kebanyakan kereta api jarak jauh tidak singgah di stasiun ini .
pintu gerbang kota Kendal.

Olahraga

Kabupaten Kendal memiliki klub sepak bola yaitu Persik Kendal yang bermarkas di Stadion Bahurekso

Pendidikan

Sektor pendidikan di Kabupaten Kendal terdiri dari berbagai macam. Dari mulai pendidikan formal, informal, dan non formal. Hampir disetiap Kecamatan terdapat sarana dan prasarana pendidikan. Terkait dengan pendidikan fomalnya, di Kabupaten ini telah memiliki ratusan TK dan Sekolah Dasar atau yang sederajat. Demikian pula dengan SMP atau yang sederajat, semua kecamatan di kabupaten ini terdapat SMP atau yang sederajat. Demikian pula dengan pendidikan menengah. Di Kabupaten kendal pada awal tahun 2008 memiliki 30 SMA yang terdiri dari 14 SMA Negeri dan 16 SMA Swasta. Berdasarkan program yang dibuka dari 30 sekolah terdapat 3 sekolah yang memiliki program lengkap IPA, IPS dan Bahasa adalah : (1) SMA 1 Kendal, (2) SMA 1 Boja, dan (3) SMA 1 Weleri. Sedangkan pendidikan menengah kejuruan (SMK) memiliki 22 SMK yang terdiri dari 5 SMK Negeri dan 13 SMK Swasta dan 2 SMK kelas jauh di Pondok pesantren.
Untuk tingkat sekolah menengah pertama di kabupaten kendal memililik SMP yang berstatus RSBI yaitu Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. SMP RSBI di kabupaten Kendal ada dua yaitu : (1) SMP Negeri 1 Weleri dan (2) SMP Negeri 2 Kendal

Kependudukan

Penduduk Kabupaten Kendal adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Kabupaten Kendal selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan untuk menetap.
Jumlah penduduk Kabupaten Kendal Tahun 2004 sebanyak 899.211 jiwa, yang terdiri dari 443.974 (49,34%) penduduk laki-laki dan sebanyak 455.237 (50,66%) penduduk perempuan.

Budaya dan Adat

Kabupaten Kendal kaya dengan kegiatan budya baik yang bersifat tradisional maupun agamis seperti Syawalan Kaliwungu (event ini sudah terkenal hampir diseluruh Pulau Jawa), Sedekah Laut Tanggul Malang, Pesta Laut Tawang dan Pantai Bandengan. Disamping itu terdapat beberapa makam dari tokoh-tokoh adat maupaun penyebar Agama Islam diantaranya adalah Makam Pangeran Djuminah, Kyai Asyari, Sunan Katong, Paku Wojo yang terletak di Kecamatan Kaliwungu, Makam Pangeran Benowo di Kecamatan Pegandon dan Makam Kyai Seapu di Kecamatan Boja. Di cepiring juga ada pasar cepiring dan berbagai macam padagang di antara toko sepeda BMS yang dari dulu sudah ada di sana.

Pakaian Adat Kendal

Putra: Blangkon model Mataram mondol trepes, jebeh nutup telinga. Busana bagian atas menggunakan beskap Sutowijayan (bagian depan nutup ke kanan dan jatuh lurus kebawah dengan 3 saku, bagian belakang landung dan belahan disamping kiri dan kanan). Bagian bawah menggunakan nyamping/ kain pesisiran menggunakan sabuk, epek timang, memakai keris/ duwung. Meggunakan selop tertutup.
Putri: Sanggul khas Kendal, rambut disasak dan dirapikan seperti halnya membuat sanggul jawa dan bagian samping kanan dan kiri dibentuk mepet telinga (tanpa sunggar). Kemudian untuk bentuk sanggulnya menggunakan sanggul Jawa Solo ukuran kecil dengan 3 tusuk konde model lingkar.

Pariwisata

Salah satu obyek wisata terkenal di Kabupaten Kendal adalah Curug Sewu, yakni air terjun tiga tingkat setinggi 80 meter, terletak di Kecamatan Patean (perbatasan dengan Kabupaten Temanggung).
Beberapa obyek pariwisata lain di Kabupaten Kendal:
  • Pemandian air panas Gonoharjo Nglimut di lereng Gunung Ungaran
  • Pantai Muara Kencan di Kecamatan Cepiring
  • Pantai Sendang Sekucing di Kecamatan Rowosari.
  • Agrowisata kebun teh Medini di Kecamatan Limbangan, dimana tampak pemandangan Kota Semarang dari atas di Gunung Ungaran yang berketinggian 2.100 meter
  • Goa Kiskendo di Kecamatan Singorojo; goa ini mempunyai legenda tentang Mahesa Sura dan Lembu Sura serta Sugriwa dan Subali
  • Kolam Renang Boja di Kecamatan Boja. Di tempat ini ada tersedia dua kolam yaitu kolam olympic dan kolam untuk anak anak. Wisata ini .berada di pusat Kecamatan Boja.
  • Agrowisata Sekatul. Terletak di Kecamatan Limbangan, sekitar 30 km ke arah selatan dari Kendal. Terdapat perkebunan buah stroberi dan buah-buahan lainnya, pemancingan, serta taman bermain untuk anak anak.
  • Srendeng Agrowisata. Terletak di Desa Curugsewu, Kecamatan Patean, merupakan wisata Agro berbasis pendidikan terdiri dari Wisata Kebun, Peternakan, Pertanian, Outbound, Mebel dan village tour.

Rabu, 13 Maret 2013

SEJARAH KOTA SURAKARTA

Surakarta berkembang dari wilayah suatu desa bernama Desa Sala, di tepi Bengawan Solo. Sarjana Belanda yang meneliti Naskah Bujangga Manik, J. Noorduyn, menduga bahwa Desa Sala ini berada di dekat (kalau bukan memang di sana) salah satu tempat penyeberangan ("penambangan") di Bengawan Solo yang disebut-sebut dalam pelat tembaga "Piagam Trowulan I" (1358, dalam bahasa Inggris disebut "Ferry Charter") sebagai "Wulayu". Naskah Perjalanan Bujangga Manik yang berasal dari sekitar akir abad ke-15 menyebutkan bahwa sang tokoh menyeberangi "Ci Wuluyu". Pada abad ke-17 di tempat ini juga dilaporkan terdapat penyeberangan di daerah "Semanggi"[1] (sekarang masih menjadi nama kampung/kelurahan di Kecamatan Pasarkliwon).

Pendirian dan perkembangan

Kejadian yang memicu pendirian kota ini adalah berkobarnya pemberontakan Sunan Kuning ("Gègèr Pacinan") pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, raja Kartasura tahun 1742. Pemberontakan dapat ditumpas dengan bantuan VOC dan keraton Kartasura dapat direbut kembali, namun dengan pengorbanan hilangnya beberapa wilayah warisan Mataram sebagai imbalan untuk bantuan yang diberikan VOC. Bangunan keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I) dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. (Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"[2]). Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Surat Perjanjian Giyanti dari tahun 1755 yang sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwono III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Masa kolonial Belanda 1757-1942

Surakarta pada masa kolonial Belanda merupakan daerah Vorstenlanden atau swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri / tidak diatur oleh UU seperti daerah lain tetapi diatur dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan Sri Sunan. Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kasunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaran diatur dalam pernyataan pendek.[3]
Sejak Gubernur Jenderal G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam S 1940/543. [3]

Masa pendudukan Jepang 1942-1945

Surakarta pada masa pendudukan Jepang merupakan daerah Kochi atau daerah istimewa. Sri Sunan disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara disebut sebagai Mangkunegoro Koo. Pemerintahan Surakarta disebut sebagai Kooti Sumotyookan. Ketika Jepang mengalami banyak kekalahan dalam Perang Dunia II, maka Jepang mendorong pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai daerah kochi diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI dari Surakarta adalah Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Widyodiningrat.[3]

Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949

Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Surakarta kehilangan hak otonominya. Pada masa perang revolusi, Pakubuwana XII naik takhta hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sri Sunan Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI. Pada tanggal 6 September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Sri Sunan Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno dan tertanggal 19 Agustus 1945.[3]
Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Pengakuan tersebut masih diperkuat lagi dengan pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan Pakubuwana XII dengan pangkat Letnan Jenderal pada tanggal 1 November 1945.[3]
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.
Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.
Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.
Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.

D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka

Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran (Mangkunegara VIII dan Susuhunan Sala (Pakubuwana XII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).[rujukan?]
Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus Mangkunegaran dan Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani (landreform) oleh gerakan komunis.[rujukan?]
Tanggal 17 Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan Susuhunan. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.
Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap PM Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. PM Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke 14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14-pimpinan pemberontak.
Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun demikian Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (bahasa Belanda koppig).[4]
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol. Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. PM Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.

Serangan Umum 7 Agustus 1949

Dari tahun 1945 sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan daerah-daerah sekitarnya.
Pada Desember 1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya dan menyatakan RI sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak menyerah dan mulai bergerilya di hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk membantah klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan "Serangan Oemoem" yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta selama beberapa jam. "Serangan Oemoem" di Surakarta terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Untuk memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan "Jalan Slamet Riyadi".
Kepemimpinan Slamet Riyadi - yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS - pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan pimpinan tentara Belanda (Van Ohl ?), yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih pantas menjadi anaknya, ketika acara penyerahan kota Solo.

1998-sekarang

Mal Ratu Luwes di Pasar Legi yang terbakar
Pada tahun Kerusuhan Mei 1998, tepatnya tanggal 14-15 Mei, terjadi pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah penduduk serta fasilitas-fasilitas umum sehingga menyebabkan kota Solo lumpuh selama beberapa hari. Berbagai bangunan di Jalan Slamet Riyadi menjadi sasaran anarki massa. Kantor-kantor, bank-bank, serta kawasan pertokoan, antara lain Matahari Beteng, dirusak dan dijarah massa. Mobil-mobil di jalanan dibakar dan dihancurkan. Di sejumlah kawasan Solo lainnya seperti di Nusukan, Gading, Tipes, Jebres, serta hampir seluruh penjuru kota juga meletus aksi serupa. Kerusuhan kian meluas. Massa di hampir seantero kota turun ke jalan melakukan pelemparan dan pembakaran bangunan maupun mobil dan motor. Bahkan juga penjarahan. Asap mengepul di mana-mana. Di Jalan Slamet Riyadi yang semula hanya terjadi pelemparan, berganti pembakaran. Di antaranya Wisma Lippo Bank dan Toko Sami Luwes. Supermarket Matahari Super Ekonomi (SE), serta Cabang Pembantu (Capem) Bank BCA di Purwosari, yang semula hanya dilempari, akhirnya dibakar. Di Solo bagian utara, massa membakar Terminal Bus Tirtonadi. Tak kurang dari empat bus ikut dibakar. Di Solo bagian barat, amuk massa juga menerjang Kantor Samsat, Jajar. Selain itu, Plasa Singosaren berlantai tiga turut pula dihanguskan. Monza Dept Store di sebelahnya, diremuk, juga toko sepatu Bata dan beberapa toko lain. Peristiwa kerusuhan juga terjadi di kawasan Gading dan sekitarnya.[5][6]
Kerusuhan tak hanya di Solo. Massa di barat Kampus UMS bergerak ke barat dan melakukan kerusuhan di Kartasura. Mereka membakar Kantor Bank BCA, Lippo, Danamon serta ATM BII, di samping pertokoan serta sebuah supermarket di Jalan Raya Kartasura, Sukoharjo, Toserba Mitra. Diler Suzuki, salon, toko kain, toko elektronik serta toko mebel dibakar. Pada Jumat 15 Mei, aksi perusakan dan pembakaran masih berlanjut. Sekitar pukul 07.00 WIB masyarakat dikejutkan oleh asap hitam tebal yang membubung ke angkasa dari kawasan Gladak. Ternyata, Plasa Beteng telah dibakar massa. Setelah itu berturut-turut sejumlah tempat yang semula luput dari amukan massa pada hari sebelumnya, akhirnya disasar juga. Toserba Ratu Luwes, Luwes Gading, pabrik plastik di Sumber serta puluhan tempat lain dibakar dan dijarah massa. Begitu juga pembakaran terhadap kendaraan roda dua dan empat masih terjadi di beberapa jalanan. [5]
Kerusuhan kemudian merambat menjadi kerusuhan rasial, para perusuh itu menyerang pertokoan yang kebanyakan milik orang Tionghoa, tergambar dengan hampir semua toko di eks Karesidenan Surakarta (Solo Raya) tertulis ‘Milik Pribumi’, sekalipun tulisan itu bukan cara ampuh untuk menghindari perusakan, penjarahan hingga pembakaran. [5]
Siang hari tanggal 14 Mei peristiwa tersebut selesai. Banyak toko-toko besar yang hangus terbakar seperti Pasar Singosaren, SE Purwosari hingga rumah Harmoko dan bioskop di Solo Baru juga tidak luput dari bidikan massa. Menurut saksi mata, amuk massa di Solo, 14-15 Mei itu, ada yang memprovokasi. Dua saksi, seorang guru dan seorang alumnus sebuah PTS menyatakan pelaku kerusuhan adalah sekelompok orang dengan dandanan khas. ”Mereka berkelompok 10 sampai 20 orang, menutup muka dengan sapu tangan dan melakukan provokasi sepanjang jalan agar warga ikut merusak.” Kedua orang itu menyatakan kesaksian mereka dalam dialog kerusuhan yang diadakan SMPT UMS, 12 Juni. Ketika asap kebakaran mulai sirna dan emosi massa mulai menurun, baru diketahui bahwa kerusuhan selama dua hari itu ternyata telah menelan korban jiwa 33 orang. Mayat mereka yang telah dalam keadaan hangus diketahui setelah dilakukan bersih-bersih atas puing-puing amuk massa. Dari 33 mayat itu, 14 di antaranya ditemukan terpanggang di dalam bangunan Toserba Ratu Luwes Pasar Legi. Sedangkan 19 lainnya terpanggang di Toko Sepatu Bata kawasan Coyudan. Di sisi lain, akibat banyaknya toko, swalayan, dan tempat usaha lain (lebih dari 500 buah) dirusak massa, mengakibatkan sekitar 50.000 hingga 70.000 tenaga kerja Solo menganggur. Menurut catatan Akuntan Publik Drs Rachmad Wahyudi Ak MBA, yang juga Managing Partner KAP Djaka Surarsa & Rekan Solo, kerugian fisik usaha yang ada di plasa dan supermarket mencapai sekitar Rp 189 miliar. Sementara, nilai total kerugian di Solo total Rp 457,5 miliar[7][5], sementara sumber lain memperkirakan kerugian mencapai 600 miliar[8]
Dua bulan setelah kerusuhan lewat, Solo di malam hari masih seperti kota mati, seperti di hari-hari dekat setelah kerusuhan. Toko-toko, juga kantor bank, masih poranda dan sebagian atau seluruhnya hangus bekas dibakar–Toko Serba-ada Super Ekonomi, Bank Central Asia, Bank Bill, warung Pizza Hut, Pasar Swalayan Gelael, Toko Serba-ada Sami Luwes, Toko Elektronik Idola, dan sejumlah toko kecil. Pascatragedi tersebut, berbagai wajah bangunan dan pertokoan di beberapa wilayah Kota Solo juga tampak mengalami perubahan. Perubahan itu bisa ditandai dengan berubahnya wajah bangunan itu menjadi bangunan yang lebih rapat, tertutup dan dihiasi oleh terali-terali besi. Bangunan yang secara arsitektur dulunya terbuka dan berwarna transparan tersebut, kini menjadi tertutup. Wajah lain yang tampak adalah mulai banyak hadirnya pintu dan portal di mulut gang-gang kampung. Pintu dan portal itu kebanyakan terbuat dari besi, dan di beberapa tempat dilengkapi oleh pos jaga/pos satpam, dan pada jam-jam tertentu bahkan ditutup rapat-rapat, sehingga tak memungkinkan orang bebas keluar masuk. Tak hanya perumahan elite, namun kampung-kampung juga. Jika ada yang masuk dan keluar, semuanya bisa terpantau, terawasi dan terkontrol.[5]
Beberapa bulan usai kerusuhan Mei, di penghujung tahun 1998, Kota Solo kembali menderita kerusakan meski tidak begitu parah. Pos-pos polisi dan rambu-rambu jalan dirusak dan dibakar anak-anak muda yang marah karena ditertibkan polisi saat balapan liar di jalan umum. [5]
Data kerusuhan Mei 1998 di Solo[9]
No. Jenis Tingkat kerusakan Jumlah
1 Perkantoran/Bank Dibakar/dirusak 56
2 Pertokoan/ swalayan Dibakar 27
3 Toko Dibakar/dirusak 217
4 Rumah makan Dibakar 12
5 Showroom motor/mobil Dibakar/dirusak 24
6 Tempat pendidikan Dirusak 1
7 Pabrik Dibakar 8
8 Mobil/truk Dibakar 287
9 Sepeda Motor Dibakar 570
10 Bus Dibakar 10
11 Gedung bioskop Dibakar 2
12 Hotel Dibakar 1
Balaikota Surakarta yang baru
Kerusuhan kembali terjadi pada Oktober 1999 seiring gagalnya Megawati memenangi pemilihan presiden dalam SU MPR. Balaikota, kantor pembantu gubernur, sejumlah kantor bank, serta fasilitas-fasilitas publik lainnya rata dengan tanah setelah dibakar massa pada hari itu juga. Julukan kota sumbu pendek semakin melekat bagi Solo. Sejarawan Solo Sudarmono, mencatat sejak 1965 hingga 1999 telah terjadi 8 kali kerusuhan berskala kecil maupun besar di kota pusat kebudayaan Jawa tersebut.[5]
Hingga saat ini tidak ada dibangun monumen untuk memperingati hal ini, dan lembaran hitam sejarah ini mulai dilupakan penduduk kota Solo.
Pada tanggal 29 Oktober 2000, dan kembali pada 23 September 2001, menyusul serangan 11 September, kelompok garis keras "Laskar Islam Surakarta" melancarkan aksi penyisiran warna negara asing yang tinggal di Solo.
Sehubungan dengan terorisme, wilayah di sekitar Solo dikenal sebagai basis beberapa kelompok garis keras, seperti pesantren di Ngruki yang dipimpin oleh Abu Bakar Baasyir. Pada tanggal 3 Desember 2002, Ali Ghufron atau "Mukhlas", seorang tersangka Bom Bali dan pemimpin Jemaah Islamiyah, ditangkap di dekat Surakarta bersama dengan beberapa orang lainnya.
Kecelakaan transportasi yang terjadi di wilayah Solo antara lain: Lion Air Penerbangan 538 (30 November 2004) yang menyebabkan 26 orang meninggal dunia dan Kecelakaan kereta api di Solo 2010 yang menyebabkan satu orang meninggal di rumah sakit.
Sejak 2005, setelah Joko Widodo terpilih menjadi Wali Kota Solo, kota Solo perlahan-lahan bangkit kembali dan bangunan-bangunan yang terbakar yang dibiarkan tidak terurus mulai satu per satu dibersihkan.

SEJARAH KOTA MEDAN

Medan didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi pada tahun 1590. John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan seorang pemimpin bernama Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Pada tahun 1886, Medan secara resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Medan. Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua orang bumiputra, dan seorang Tionghoa.[6]
Pemandangan udara kota Medan pada tahun 1920-an
Daerah Kesawan tahun 1920-an
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing dan Aceh. Mereka datang ke Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru dan ulama.
Sejak tahun 1950, Medan telah beberapa kali melakukan perluasan areal, dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha pada tahun 1974. Dengan demikian dalam tempo 25 tahun setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat.

KOTA BALI

Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain.
Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai.
Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan di antara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi, yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan, yaitu Danau Beratan atau Bedugul, Buyan, Tamblingan, dan Batur. Alam Bali yang indah menjadikan pulau Bali terkenal sebagai daerah wisata.
Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni dan peristirahatan terletak di Kabupaten Gianyar, sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan, spa dll.
Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55 kecamatan dan 701 desa/kelurahan.

Rabu, 27 Februari 2013

SEJARAH KOTA KUNINGAN

Ada beberapa kemungkinan tentang asal-usulnya Kuningan dijadikan nama daerah ini. Salah satu kemungkinan adalah bahwa istilah tersebut berasal dari nama sejenis logam, yaitu kuningan. Dalam bahasa Sunda (juga bahasa Indonesia), kuningan adalah sejenis logam yang terbuat dari bahan campuran berupa timah, perak dan perunggu. Jika disepuh (dibersihkan dan diberi warna indah) logam kuningan itu akan berwarna kuning mengkilap seperti emas sehingga benda dibuat dari bahan ini akan tampak bagus dan indah. Memang logam kuningan bisa dijadikan bahan untuk membuat aneka barang keperluan hidup manusia seperti patung, bokor, kerangka lampu maupun hiasan dinding.
Di Sangkanherang, dekat Jalaksana sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung kecil terbuat dari kuningan. Paling tidak sampai tahun 1950-an barang-barang yang terbuat dari bahan logam kuningan itu sangat disukai oleh masyarakat elit (menak) di daerah Kuningan. Barang-barang yang dimaksud berbentuk alat perkakas rumah tangga dan barang hiasan di dalam rumah. Benda-benda dari bahan kuningan itu juga disukai pula oleh sejumlah masyarakat Sunda, Jawa, Melayu, dan beberapa kelompok masyarakat di Nusantara umumnya.
Di daerah Ciamis dan Kuningan sendiri terdapat cerita legenda yang bertalian dengan bokor (tempat menyimpan sesuatu di dalam rumah dan sekaligus sebagai barang perhiasan) yang terbuat dari logam kuningan[. Kedua cerita legenda dimaksud menuturkan tentang sebuah bokor kuningan yang dijadikan alat untuk menguji tingkat keilmuan seorang tokoh agama.
Di Ciamis - dalam cerita Ciung Wanara - bokor itu digunakan untuk menguji seorang pendeta Galuh (masa pra-Islam) bernama Ajar Sukaresi yang bertapa di Gunung Padang. Pendeta ini diminta oleh Raja Galuh yang ibukota kerajaannya berkedudukan di Bojong Galuh (desa Karangkamulya) sekarang yang terletak sekitar 12 km sebelah timur kota Ciamis, untuk menaksir perut istrinya yang buncit, apakah sedang hamil atau tidak. Kesalahan menaksir akan berakibat pendeta itu kehilangan nyawanya. Sesungguhnya buncitnya perut putri tersebut merupakan akal-akalan Sang Raja, dengan memasangkanbokor kuningan pada perut sang putri yang kemudian ditutupi dengan kain sehingga tampak seperti sedang hamil. Perbuatan tersebut dilakukan semata-mata untuk mengelabui dan mencelakakan Sang Pendeta saja.
Pendeta Ajar Sukaresi yang sudah mengetahui akal busuk Sang Raja tetap tenang dalam menebak teka-teki yang diberikan oleh Sang Raja, Sang Pendeta pun berkata bahwa memang perut Sang Putri tersebut sedang hamil. Sang Raja pun merasa gembira mendengar jawaban dari Pendeta tersebut,karena beliau berpikir akal busuknya untuk mengelabui Sang Pendeta berhasil. Sang Raja dengan besar kepala berkatabahwa tebakan Sang Pendeta salah, dan kemudian memerintahkan kepada prajuritnya agar pendeta tersebut dibawa ke penjara dan segera Sang Raja mengeluarkan perintah agar pendeta tersebut di hukum mati.
Teryata tak berapa lama kemudian diketahui bahwa Sang Puteri tersebut benar-benar hamil. Muka Raja tersebut merah padam,hal ini tak mungkin terjadi pikirnya. Dengan gelap mata Sang Raja tersebut marah dan menendang bokor kuningan, kuali dan penjara besi yang berada di dekatnya. Bokor, kuali dan penjara besi itu jatuh di tempat yang berbeda. Daerah tempat jatuhnya bokor kuningan, kemudian diberi nama Kuningan yang terus berlaku sampai sekarang. Daerah tempat jatuhnya kuali (bahasa Sunda: kawali) dinamai Kawali (sekarang kota kecamatan yang termasuk ke dalam daerah Kabupaten Ciamis dan terletak antara Kuningan dan Ciamis, sekitar 65 km sebelah selatan kota Kuningan), dan daerah tempat jatuhnya penjara besi dinamai Kandangwesi (kandangwesi merupakan kosakata bahasa Sunda yang artinya penjara besi) terletak di daerah Garut Selatan.
Dalam Babad Cirebon dan tradisi Lisan Legenda Kuningan bokor kuningan itu digunakan untuk menguji tokoh ulama Islam (wali) bernama Sunan Gunung Jati. Jalan ceritanya kurang lebih sama dengan cerita Ciung Wanara, hanya di dalamnya terdapat beberapa hal yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud terletak pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tujuan dan akibat pengujian itu, dan tidak ada peristiwa penendangan bokor. Jika cerita Ciung Wanara menuturkan gambaran zaman kerajaan Galuh yang sepenuhnya bersifat kehinduan atau masa pra-Islam, maka Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengisahkan tuturan pada zaman peralihan dari masa Hindu menuju masa Islam atau pada masa proses Islamisasi. Dengan demikian, isi cerita Ciung Wanara lebih tua daripada isi Babad Cirebon atau tradisi lisan Legenda Kuningan. Cerita Ciung Wanara mengungkapakan tempat peristiwanya di Bojong Galuh, sedangkan Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengemukakan bahwa peristiwanya terjadi di Luragung (kota kecamatan yang terletak 19 km sebelah timur Kuningan).

Tidak seperti dalam cerita Ciung Wanara, penaksiran kehamilan Puteri dilatarbelakangi oleh tujuan mencelakakan pendeta Ajar Sukaresi dan berakibat pendeta tersebut dihukum mati, dalam Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan penaksiran kehamilan tersebut dimaksudkan untuk menguji keluhuran ilmu Sunan Gunung Jati semata-mata dan berdampak mempertinggi kedudukan keulamaan wali tersebut. Anak yang dilahirkannya adalah seorang bayi laki-laki yang kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh Ki Gedeng Luragung, penguasa daerah Luragung. Selajutnya Sunan Gunung Jati menjadi Sultan di Cirebon. Setelah dewasa bayi itu diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin atau kepala daerah Kuningan dengan nama Sang Adipati Kuningan.
Jadi, dari nama jenis logam bahan pembuatan bokor itulah daerah ini dinamakan daerah Kuningan. Itulah sebabnya, bokor kuningan dijadikan sebagai salah satu lambang daerah Kabupaten Kuningan. Lambang lain daerah ini adalah kuda yang berasal dari kuda samberani milik Dipati Ewangga, seorang Panglima perang Kuningan.
Menurut tradisi lisan Lagenda Kuningan yang lain, sebelum bernama Kuningan nama daerah ini adalah Kajene. Kajene katanya mengandung arti warna kuning (jene dalam bahasa Jawa berarti kuning). Secara umum warna kuning melambangkan keagungan dalam masyarakat Nusantara. Berdasarkan bahan bokor kuningan dan warna kuning itulah, kemudian pada masa awal Islamisasi daerah ini dinami Kuningan. Namun keotentikan Kajene sebaga nama pertama daerah ini patut diragukan, karena menurut naskah Carita Parahyangan sumber tertulis yang disusun di daerah Ciamis pada akhir abad ke-16 Masehi, Kuningan sebagai nama daerah (kerajaan) telah dikenal sejak awal kerajaan Galuh, yakni sejak akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi. Sementara itu, wilayah kerajaan Kuningan terletak di daerah Kabupaten Kuningan sekarang.
Adalagi menurut cerita mitologi daerah setempat yang mengemukakan bahwa nama daerah Kuningan itu diambil dari ungkapan dangiang kuning, yaitu nama ilmu kegaiban(ajian) yang bertalian dengan kebenaran hakiki. Ilmu ini dimiliki oleh Demunawan, salah seorang yang pernah menjadi penguasa (raja) di daerah ini pada masa awal kerajaan Galuh.
Dalam tradisi agama Hindu terdapat sistem kalender yang enggambarkan siklus waktu upacara keagamaan seperti yang masih dipakai oleh umat Hindu-Bali sekarang. Kuningan menjadi nama waktu (wuku) ke 12 dari sistem kalender tersebut. Pada periode wuku Kuningan selalu daiadakan upacara keagamaan sebagai hari raya. Mungkinkah, nama wuku Kuningan mengilhami atau mendorong pemberian nama bagi daerah ini?
Yang jelas, menurut Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan, dua naskah yang ditulis sezaman pada daun lontar beraksara dan berbahasa Sunda Kuna, pada abad ke-8 Masehi, Kuningan sudah disebut sebagai nama kerajaan yang terletak tidak jauh dari kerajaan Galuh (Ciamis sekarang) dan kerajaan Galunggung (Tasikmalaya sekarang). Lokasi kerajaan tersebut terletak di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Kuningan.