Pengikut

Rabu, 13 Maret 2013

SEJARAH KOTA SURAKARTA

Surakarta berkembang dari wilayah suatu desa bernama Desa Sala, di tepi Bengawan Solo. Sarjana Belanda yang meneliti Naskah Bujangga Manik, J. Noorduyn, menduga bahwa Desa Sala ini berada di dekat (kalau bukan memang di sana) salah satu tempat penyeberangan ("penambangan") di Bengawan Solo yang disebut-sebut dalam pelat tembaga "Piagam Trowulan I" (1358, dalam bahasa Inggris disebut "Ferry Charter") sebagai "Wulayu". Naskah Perjalanan Bujangga Manik yang berasal dari sekitar akir abad ke-15 menyebutkan bahwa sang tokoh menyeberangi "Ci Wuluyu". Pada abad ke-17 di tempat ini juga dilaporkan terdapat penyeberangan di daerah "Semanggi"[1] (sekarang masih menjadi nama kampung/kelurahan di Kecamatan Pasarkliwon).

Pendirian dan perkembangan

Kejadian yang memicu pendirian kota ini adalah berkobarnya pemberontakan Sunan Kuning ("Gègèr Pacinan") pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, raja Kartasura tahun 1742. Pemberontakan dapat ditumpas dengan bantuan VOC dan keraton Kartasura dapat direbut kembali, namun dengan pengorbanan hilangnya beberapa wilayah warisan Mataram sebagai imbalan untuk bantuan yang diberikan VOC. Bangunan keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I) dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. (Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"[2]). Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Surat Perjanjian Giyanti dari tahun 1755 yang sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwono III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Masa kolonial Belanda 1757-1942

Surakarta pada masa kolonial Belanda merupakan daerah Vorstenlanden atau swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri / tidak diatur oleh UU seperti daerah lain tetapi diatur dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan Sri Sunan. Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kasunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaran diatur dalam pernyataan pendek.[3]
Sejak Gubernur Jenderal G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam S 1940/543. [3]

Masa pendudukan Jepang 1942-1945

Surakarta pada masa pendudukan Jepang merupakan daerah Kochi atau daerah istimewa. Sri Sunan disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara disebut sebagai Mangkunegoro Koo. Pemerintahan Surakarta disebut sebagai Kooti Sumotyookan. Ketika Jepang mengalami banyak kekalahan dalam Perang Dunia II, maka Jepang mendorong pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai daerah kochi diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI dari Surakarta adalah Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Widyodiningrat.[3]

Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949

Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Surakarta kehilangan hak otonominya. Pada masa perang revolusi, Pakubuwana XII naik takhta hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sri Sunan Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI. Pada tanggal 6 September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Sri Sunan Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno dan tertanggal 19 Agustus 1945.[3]
Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Pengakuan tersebut masih diperkuat lagi dengan pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan Pakubuwana XII dengan pangkat Letnan Jenderal pada tanggal 1 November 1945.[3]
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.
Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.
Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.
Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.

D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka

Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran (Mangkunegara VIII dan Susuhunan Sala (Pakubuwana XII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).[rujukan?]
Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus Mangkunegaran dan Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani (landreform) oleh gerakan komunis.[rujukan?]
Tanggal 17 Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan Susuhunan. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.
Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap PM Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. PM Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke 14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14-pimpinan pemberontak.
Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun demikian Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (bahasa Belanda koppig).[4]
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol. Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. PM Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.

Serangan Umum 7 Agustus 1949

Dari tahun 1945 sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan daerah-daerah sekitarnya.
Pada Desember 1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya dan menyatakan RI sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak menyerah dan mulai bergerilya di hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk membantah klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan "Serangan Oemoem" yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta selama beberapa jam. "Serangan Oemoem" di Surakarta terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Untuk memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan "Jalan Slamet Riyadi".
Kepemimpinan Slamet Riyadi - yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS - pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan pimpinan tentara Belanda (Van Ohl ?), yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih pantas menjadi anaknya, ketika acara penyerahan kota Solo.

1998-sekarang

Mal Ratu Luwes di Pasar Legi yang terbakar
Pada tahun Kerusuhan Mei 1998, tepatnya tanggal 14-15 Mei, terjadi pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah penduduk serta fasilitas-fasilitas umum sehingga menyebabkan kota Solo lumpuh selama beberapa hari. Berbagai bangunan di Jalan Slamet Riyadi menjadi sasaran anarki massa. Kantor-kantor, bank-bank, serta kawasan pertokoan, antara lain Matahari Beteng, dirusak dan dijarah massa. Mobil-mobil di jalanan dibakar dan dihancurkan. Di sejumlah kawasan Solo lainnya seperti di Nusukan, Gading, Tipes, Jebres, serta hampir seluruh penjuru kota juga meletus aksi serupa. Kerusuhan kian meluas. Massa di hampir seantero kota turun ke jalan melakukan pelemparan dan pembakaran bangunan maupun mobil dan motor. Bahkan juga penjarahan. Asap mengepul di mana-mana. Di Jalan Slamet Riyadi yang semula hanya terjadi pelemparan, berganti pembakaran. Di antaranya Wisma Lippo Bank dan Toko Sami Luwes. Supermarket Matahari Super Ekonomi (SE), serta Cabang Pembantu (Capem) Bank BCA di Purwosari, yang semula hanya dilempari, akhirnya dibakar. Di Solo bagian utara, massa membakar Terminal Bus Tirtonadi. Tak kurang dari empat bus ikut dibakar. Di Solo bagian barat, amuk massa juga menerjang Kantor Samsat, Jajar. Selain itu, Plasa Singosaren berlantai tiga turut pula dihanguskan. Monza Dept Store di sebelahnya, diremuk, juga toko sepatu Bata dan beberapa toko lain. Peristiwa kerusuhan juga terjadi di kawasan Gading dan sekitarnya.[5][6]
Kerusuhan tak hanya di Solo. Massa di barat Kampus UMS bergerak ke barat dan melakukan kerusuhan di Kartasura. Mereka membakar Kantor Bank BCA, Lippo, Danamon serta ATM BII, di samping pertokoan serta sebuah supermarket di Jalan Raya Kartasura, Sukoharjo, Toserba Mitra. Diler Suzuki, salon, toko kain, toko elektronik serta toko mebel dibakar. Pada Jumat 15 Mei, aksi perusakan dan pembakaran masih berlanjut. Sekitar pukul 07.00 WIB masyarakat dikejutkan oleh asap hitam tebal yang membubung ke angkasa dari kawasan Gladak. Ternyata, Plasa Beteng telah dibakar massa. Setelah itu berturut-turut sejumlah tempat yang semula luput dari amukan massa pada hari sebelumnya, akhirnya disasar juga. Toserba Ratu Luwes, Luwes Gading, pabrik plastik di Sumber serta puluhan tempat lain dibakar dan dijarah massa. Begitu juga pembakaran terhadap kendaraan roda dua dan empat masih terjadi di beberapa jalanan. [5]
Kerusuhan kemudian merambat menjadi kerusuhan rasial, para perusuh itu menyerang pertokoan yang kebanyakan milik orang Tionghoa, tergambar dengan hampir semua toko di eks Karesidenan Surakarta (Solo Raya) tertulis ‘Milik Pribumi’, sekalipun tulisan itu bukan cara ampuh untuk menghindari perusakan, penjarahan hingga pembakaran. [5]
Siang hari tanggal 14 Mei peristiwa tersebut selesai. Banyak toko-toko besar yang hangus terbakar seperti Pasar Singosaren, SE Purwosari hingga rumah Harmoko dan bioskop di Solo Baru juga tidak luput dari bidikan massa. Menurut saksi mata, amuk massa di Solo, 14-15 Mei itu, ada yang memprovokasi. Dua saksi, seorang guru dan seorang alumnus sebuah PTS menyatakan pelaku kerusuhan adalah sekelompok orang dengan dandanan khas. ”Mereka berkelompok 10 sampai 20 orang, menutup muka dengan sapu tangan dan melakukan provokasi sepanjang jalan agar warga ikut merusak.” Kedua orang itu menyatakan kesaksian mereka dalam dialog kerusuhan yang diadakan SMPT UMS, 12 Juni. Ketika asap kebakaran mulai sirna dan emosi massa mulai menurun, baru diketahui bahwa kerusuhan selama dua hari itu ternyata telah menelan korban jiwa 33 orang. Mayat mereka yang telah dalam keadaan hangus diketahui setelah dilakukan bersih-bersih atas puing-puing amuk massa. Dari 33 mayat itu, 14 di antaranya ditemukan terpanggang di dalam bangunan Toserba Ratu Luwes Pasar Legi. Sedangkan 19 lainnya terpanggang di Toko Sepatu Bata kawasan Coyudan. Di sisi lain, akibat banyaknya toko, swalayan, dan tempat usaha lain (lebih dari 500 buah) dirusak massa, mengakibatkan sekitar 50.000 hingga 70.000 tenaga kerja Solo menganggur. Menurut catatan Akuntan Publik Drs Rachmad Wahyudi Ak MBA, yang juga Managing Partner KAP Djaka Surarsa & Rekan Solo, kerugian fisik usaha yang ada di plasa dan supermarket mencapai sekitar Rp 189 miliar. Sementara, nilai total kerugian di Solo total Rp 457,5 miliar[7][5], sementara sumber lain memperkirakan kerugian mencapai 600 miliar[8]
Dua bulan setelah kerusuhan lewat, Solo di malam hari masih seperti kota mati, seperti di hari-hari dekat setelah kerusuhan. Toko-toko, juga kantor bank, masih poranda dan sebagian atau seluruhnya hangus bekas dibakar–Toko Serba-ada Super Ekonomi, Bank Central Asia, Bank Bill, warung Pizza Hut, Pasar Swalayan Gelael, Toko Serba-ada Sami Luwes, Toko Elektronik Idola, dan sejumlah toko kecil. Pascatragedi tersebut, berbagai wajah bangunan dan pertokoan di beberapa wilayah Kota Solo juga tampak mengalami perubahan. Perubahan itu bisa ditandai dengan berubahnya wajah bangunan itu menjadi bangunan yang lebih rapat, tertutup dan dihiasi oleh terali-terali besi. Bangunan yang secara arsitektur dulunya terbuka dan berwarna transparan tersebut, kini menjadi tertutup. Wajah lain yang tampak adalah mulai banyak hadirnya pintu dan portal di mulut gang-gang kampung. Pintu dan portal itu kebanyakan terbuat dari besi, dan di beberapa tempat dilengkapi oleh pos jaga/pos satpam, dan pada jam-jam tertentu bahkan ditutup rapat-rapat, sehingga tak memungkinkan orang bebas keluar masuk. Tak hanya perumahan elite, namun kampung-kampung juga. Jika ada yang masuk dan keluar, semuanya bisa terpantau, terawasi dan terkontrol.[5]
Beberapa bulan usai kerusuhan Mei, di penghujung tahun 1998, Kota Solo kembali menderita kerusakan meski tidak begitu parah. Pos-pos polisi dan rambu-rambu jalan dirusak dan dibakar anak-anak muda yang marah karena ditertibkan polisi saat balapan liar di jalan umum. [5]
Data kerusuhan Mei 1998 di Solo[9]
No. Jenis Tingkat kerusakan Jumlah
1 Perkantoran/Bank Dibakar/dirusak 56
2 Pertokoan/ swalayan Dibakar 27
3 Toko Dibakar/dirusak 217
4 Rumah makan Dibakar 12
5 Showroom motor/mobil Dibakar/dirusak 24
6 Tempat pendidikan Dirusak 1
7 Pabrik Dibakar 8
8 Mobil/truk Dibakar 287
9 Sepeda Motor Dibakar 570
10 Bus Dibakar 10
11 Gedung bioskop Dibakar 2
12 Hotel Dibakar 1
Balaikota Surakarta yang baru
Kerusuhan kembali terjadi pada Oktober 1999 seiring gagalnya Megawati memenangi pemilihan presiden dalam SU MPR. Balaikota, kantor pembantu gubernur, sejumlah kantor bank, serta fasilitas-fasilitas publik lainnya rata dengan tanah setelah dibakar massa pada hari itu juga. Julukan kota sumbu pendek semakin melekat bagi Solo. Sejarawan Solo Sudarmono, mencatat sejak 1965 hingga 1999 telah terjadi 8 kali kerusuhan berskala kecil maupun besar di kota pusat kebudayaan Jawa tersebut.[5]
Hingga saat ini tidak ada dibangun monumen untuk memperingati hal ini, dan lembaran hitam sejarah ini mulai dilupakan penduduk kota Solo.
Pada tanggal 29 Oktober 2000, dan kembali pada 23 September 2001, menyusul serangan 11 September, kelompok garis keras "Laskar Islam Surakarta" melancarkan aksi penyisiran warna negara asing yang tinggal di Solo.
Sehubungan dengan terorisme, wilayah di sekitar Solo dikenal sebagai basis beberapa kelompok garis keras, seperti pesantren di Ngruki yang dipimpin oleh Abu Bakar Baasyir. Pada tanggal 3 Desember 2002, Ali Ghufron atau "Mukhlas", seorang tersangka Bom Bali dan pemimpin Jemaah Islamiyah, ditangkap di dekat Surakarta bersama dengan beberapa orang lainnya.
Kecelakaan transportasi yang terjadi di wilayah Solo antara lain: Lion Air Penerbangan 538 (30 November 2004) yang menyebabkan 26 orang meninggal dunia dan Kecelakaan kereta api di Solo 2010 yang menyebabkan satu orang meninggal di rumah sakit.
Sejak 2005, setelah Joko Widodo terpilih menjadi Wali Kota Solo, kota Solo perlahan-lahan bangkit kembali dan bangunan-bangunan yang terbakar yang dibiarkan tidak terurus mulai satu per satu dibersihkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar